Skip to main content

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian satu)

Udah lama banget gue pengen nge-review Serial TV berjudul My Friends, My Dreams ini. Novelnya juga sih. Tapi gak sempet-sempet.
Oke, mungkin tulisan ini bukan jenis review, ya seenggaknya, serupa review. :p

Novel My Friends, My Dreams. Karya : Ken Terate adalah novel –para pemenang sayembara TeenLit Writer- yang pertama gue beli.
Gue suka banget novel ini, karena SANGAT BERBEDA dengan novel TeenLit lainnya. Thumb up buat kejelian penulisnya.

As we all know, novel bergenre remaja, tentu aja, mengetengahkan kehidupan remaja (hehe, infonya gak penting banget!).

Banjirnya sinetron remaja yang sangat gak mutu seperti sekarang, membuat kehidupan remaja sekarang kayaknya cuma berkisar pada kejadian konflik dengan teman, rebutan pacar, cinta gelo, sampe remaja pelaku krimimil.
Hellloooooow! Zaman gue sekolah dulu, emang sih rame ikut tawuran, atau digencet kakak kelas, tapi kayakna gak semonoton gitu deh.
Masa remaja adalah masa yang paling indah, dan kehidupan sekolah itu menyenangkan. Setuju gak sih?!

Balik ke review novel, dan sekarang juga review Serial TV-nya.
Bagi yang udah baca novelnya (kalo belum, ketinggalaaaan deh loe!) pasti kenal sama tiga tokoh remaja cewek yang berbeda latar belakang itu.
Setingnya di Jogja (di TV lokasi syutingnya di SMA 3 Jogjakarta), dan jalan ceritanya penuh suasana remaja yang menyenangkan, seperti seharusnya kehidupan remaja.

Waktu gue dikasih tau kalo novel ini bakal dibuat Serial TV, gue sempet rada ilfil. Pikir gue, sayang banget sih novel sebagus ini mo dikomersilin jadi kayak sinetron remaja picisan yang lagi jamuran sekarang.
Let’s see.
Dari segi komersil, kayaknya gak mungkin deh kan, ada sinetron yang mau ngambil seting di luar Jakarta? (padahal apa sih bagusnya Jakarta dalam sinetron?!)
Belum lagi karakter para tokoh, terutama Wening yang ndeso sekale itu, kayaknya jauh deh dari tipe tokoh utama sinetron.
Plus penggunaan bahasa gaul (baca: Jakarta) yang agak minus. Maklum kan, remaja sekarang gitu lho! (padahal, oot dikit nih, menurut gue, novel pop yang minim kalimat gaul itu justru keliatannya intelek banget. Asal jalan ceritanya bagus aja!)

Cuma tokoh Marcella aja yang masih menggunakan bahasa lo-gue-nya.
Selain itu, gue juga males banget kalo musti nonton akting yang kurang alami. Apalagi, kayaknya susah kan artis remaja sekarang disuruh berakting peran yang “tidak gaul”.

Itu sebabnya, gue sampe melewatkan tiga episode pertama Serial TV-nya.

To be continued

Comments

Popular posts from this blog

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian dua)

Sampe suatu ketika, gue kebetulan lagi nonton Kiamat Sudah Dekat (KSD). Pas lagi iklan, ganti chanel, ternyata Serial TV itu muncul di TV7. Sejak itu, gue gak pernah absen nonton (ganti-gantian sama KSD). Gue sampe bela-belain pulang cepet buat bisa nongkrongin TV, apalagi sekarang jam tayangnya dimajuin jadi jam 20. Untung aja tayangnya hari Jumat. Pas mo wiken banget tuh! Gak nyangka, Serial TV-nya (plis deh, ini bukan “sinetron”. Oke?) malah lebih bagus dari yang waktu gue bayangin visual isi novelnya. Aktingnya alami banget. Tiap kejadian selalu bisa membuat gue ikut senyum, hanyut dalam emosi yang wajar, dan yang paling gue suka : ada nilai positifnya, dan itu sangat dominan. Two Thumbs Up!!!! Yang paling gue suka (lagi) adalah bagian di mana Mading Sekolah dikembangkan menjadi TV Sekolah! Semoga aja ini bisa jadi inspirasi buat para remaja yang senang beraktivitas dan ingin memajukan sekolahnya. Gue liat tiap episode, iklannya semakin bertambah dan bahkan jam tayangnya dimajuin

Fear Factor versi Indonesia (#1- Tantangan yang gak kacangan)

Nonton Fear Factor Versi Indonesia kemarin, ada dua hal yang ingin gua komentari, dan itu akan gua bagi dalam 2 tulisan. Yang pertama, bahwa reality show tentang memerangi rasa takut ini memang sangat menarik -kalo gak bisa dibilang keyen- Di luar kenyataan bahwa sampe sekarang persertanya masih didominasi orang-orang yang katanya-lumayan-beken-dan-tampang-kayak-maksa -musti-cakep itu (biasa deh, stereotip dunia hiburan, orang Indonesia kayak malu ama tampang asli bangsa sendiri), tantangan yang harus dihadapi peserta memang cukup berhasil "mbikin-takut-n-jijik". Sesuai temanya, yaitu faktor yang menakutkan, tantangan tersebut gak semata berupa tantangan fisik yang memerlukan otot kawat-tulang besi. Hal ini yang paling menarik, mengingat gak semua orang sekuat Gatotkaca, tapi belum tentu seorang Superman berani tidur dalam kotak kecil bareng sekumpulan tarantula berbisa. Ohya, ada dua hal yang paling gua suka dalam menghadapi tantangan : yang menguji nyali, dan mengadu kecer