Suara petir di siang bolong
Terjadi (lagi) barusan. Suaranya menggelegar, bergemuruh, dan bersahut-sahutan. Wekss, padahal matahari lagi anget-angetnya di kepala, jam satu siang gitu lho!
Sering begini nih di Jakarta sekarang. Hujan datengnya mendadak aja,
tanpa pertanda yang mendahului,
bahkan mendung tak terlihat,
langit pun tiada berawan,
matahari masih mengintip malu-malu.
*Halah! Dasar seniman gagal!!!*
Bahasa gue jadi kok puitis gene seh?!
~GLARRRRR!~
@#$%^%$#@!!!!
*sound system memperdengarkan suara petir lagi*
Kali ini suaranya udah menjauh. Alhamdulillah.
Kalo denger suara petir yang mengerikan gini gue suka keinget film Twister, itu loh film tentang Pemburu Badai Tornado (kesannya gak ada kerjaan banget ya, badai kok diburu-buru. Padahal ternyata pekerjaan itu mulia loh, buat penelitian pra-bencana alam badai).
Salah satu adegannya ada anak kecil yang sedang ketakutan mendengar suara petir yang menggelegar-gelegar. Bokapnya (ceritanya nih salah seorang pemburu badai) bilang, kalau mendengar petir, jangan terlalu takut. Coba hitung jeda antara petir pertama dengan petir selanjutnya.
Misalnya, ketika terdengar *GLARRR* petir pertama, segeralah berhitung. Satu, dua, ...., sembilan (misalnya), tiba-tiba *GLARRR!!!* petir kedua menyambar lebih keras, segera hitung lagi mulai dari angka satu.
Kalau jarak hitungannya semakin besar, artinya petir/badai semakin menjauh. Tapi kalau sebaliknya, justru hitungannya semakin cepat, bisa jadi sebentar lagi rumah kita bakal dilibas badai. Hehehe....
*nggak lucu denk*
Itu kalo cuacanya ekstrem ya, pake ngitung segala. Paling gampang sih, make perbandingan desibel suaranya. Semakin keras suara petir, berarti cuaca buruk itu kemungkinan sedang terjadi di sekitar wilayah kita. Kalo sebaliknya, semakin lemah suaranya, artinya cuaca buruk menjauh, terbawa angin ke tempat lain.
Wow, membaca fenomena alam memang selalu menarik ya?
Mempelajarinya, dan terlebih kemudian dengan keterbatasan akal sehat manusia ternyata kita dapat memahaminya, membuat kita tak henti bersyukur kepadaNya, Allah Sang Pencipta, kita masih diberi kesempatan untuk bernapas dan berblogging ria.
*GUBRAK!*
Ohya, emak gue juga pernah bilang ; kalo siang bolong gini mendadak hujan turun rintik-rintik, katanya seeh, itu pertanda ada orang Tionghoa yang meninggal. Namanya juga, katanya seeehhh, jadi ya kebenarannya sih, mene-ge-tehek? (baca: mana gue tauk!?)
Lagian, masa seh mo meninggal aja kudu janjian sama cuaca? *Hush!!!*
Katanya lagi, menurut kepercayaan orang Tionghoa, kalo ada yang meninggal trus hujan turun, itu pertanda rezeki. Bener gak ya? Kalo bagi gue sih, memang hujan itu rezeki. Ada hujan kan jadi adem. Kecuali kalo ujannya gak berenti-berenti ampe besok trus jadi kebanjiran, yaa, jelas artinya BUKAN rezeki. He-he
Balik ke hujan sebagai pertanda rezeki tadi, entah rezekinya apaan dan buat siapa. Masalahnya, gue bingung juga, kalo yang dapet rezeki itu si almarhum, dalam bentuk apa rezeki itu?
*berpikir keras, he he, ga ada kerjaan banget*
Terjadi (lagi) barusan. Suaranya menggelegar, bergemuruh, dan bersahut-sahutan. Wekss, padahal matahari lagi anget-angetnya di kepala, jam satu siang gitu lho!
Sering begini nih di Jakarta sekarang. Hujan datengnya mendadak aja,
tanpa pertanda yang mendahului,
bahkan mendung tak terlihat,
langit pun tiada berawan,
matahari masih mengintip malu-malu.
*Halah! Dasar seniman gagal!!!*
Bahasa gue jadi kok puitis gene seh?!
~GLARRRRR!~
@#$%^%$#@!!!!
*sound system memperdengarkan suara petir lagi*
Kali ini suaranya udah menjauh. Alhamdulillah.
Kalo denger suara petir yang mengerikan gini gue suka keinget film Twister, itu loh film tentang Pemburu Badai Tornado (kesannya gak ada kerjaan banget ya, badai kok diburu-buru. Padahal ternyata pekerjaan itu mulia loh, buat penelitian pra-bencana alam badai).
Salah satu adegannya ada anak kecil yang sedang ketakutan mendengar suara petir yang menggelegar-gelegar. Bokapnya (ceritanya nih salah seorang pemburu badai) bilang, kalau mendengar petir, jangan terlalu takut. Coba hitung jeda antara petir pertama dengan petir selanjutnya.
Misalnya, ketika terdengar *GLARRR* petir pertama, segeralah berhitung. Satu, dua, ...., sembilan (misalnya), tiba-tiba *GLARRR!!!* petir kedua menyambar lebih keras, segera hitung lagi mulai dari angka satu.
Kalau jarak hitungannya semakin besar, artinya petir/badai semakin menjauh. Tapi kalau sebaliknya, justru hitungannya semakin cepat, bisa jadi sebentar lagi rumah kita bakal dilibas badai. Hehehe....
*nggak lucu denk*
Itu kalo cuacanya ekstrem ya, pake ngitung segala. Paling gampang sih, make perbandingan desibel suaranya. Semakin keras suara petir, berarti cuaca buruk itu kemungkinan sedang terjadi di sekitar wilayah kita. Kalo sebaliknya, semakin lemah suaranya, artinya cuaca buruk menjauh, terbawa angin ke tempat lain.
Wow, membaca fenomena alam memang selalu menarik ya?
Mempelajarinya, dan terlebih kemudian dengan keterbatasan akal sehat manusia ternyata kita dapat memahaminya, membuat kita tak henti bersyukur kepadaNya, Allah Sang Pencipta, kita masih diberi kesempatan untuk bernapas dan berblogging ria.
*GUBRAK!*
Ohya, emak gue juga pernah bilang ; kalo siang bolong gini mendadak hujan turun rintik-rintik, katanya seeh, itu pertanda ada orang Tionghoa yang meninggal. Namanya juga, katanya seeehhh, jadi ya kebenarannya sih, mene-ge-tehek? (baca: mana gue tauk!?)
Lagian, masa seh mo meninggal aja kudu janjian sama cuaca? *Hush!!!*
Katanya lagi, menurut kepercayaan orang Tionghoa, kalo ada yang meninggal trus hujan turun, itu pertanda rezeki. Bener gak ya? Kalo bagi gue sih, memang hujan itu rezeki. Ada hujan kan jadi adem. Kecuali kalo ujannya gak berenti-berenti ampe besok trus jadi kebanjiran, yaa, jelas artinya BUKAN rezeki. He-he
Balik ke hujan sebagai pertanda rezeki tadi, entah rezekinya apaan dan buat siapa. Masalahnya, gue bingung juga, kalo yang dapet rezeki itu si almarhum, dalam bentuk apa rezeki itu?
*berpikir keras, he he, ga ada kerjaan banget*
Comments