Skip to main content

My Two Lovers - a Review

Uhmm, apa yang bisa kukatakan tentang novel ini?

Satu hal pasti, Nena mungkin saja
tidak pernah
berhasil membenci Rasheed, pria yang dicintainya selama empat tahun
tanpa balasan yang sama besar, tapi Nana berhasil membuat GUE membenci Rasheed, bahkan ketika baru menghabiskan 23 halaman cerita!!
Nah, lho, kok?!? :-D


Damn! I hate the scoundrel man!

Nanaaaa, itu pengalaman pribadi yah? Kok kamu bisa merangkai cerita sedemikian rupa hingga membuat perasaanku ikut terhanyut dalam gelisah? *halah! apaan seh bahasa gueee!*

Jujur, gue rasa novel ini termasuk "berat" untuk dicerna, cenderung stagnan malah, karena berkali-kali dikisahkan Nena dikadali perasaannya oleh Rasheed.
Memang sih, cinta itu abstrak, dan sebagai cewek gue bisa memahami kenapa Nena nggak bisa melepas harapannya akan bersatunya cinta mereka pada suatu saat. Tapi yang janggal di sini, tokoh Nena diceritakan adalah perempuan yang matang dalam unsur logika. Profesinya aja menuntut dia untuk banyak membuat planning dan evaluasi. Harusnya sih, tidak butuh waktu selama empat tahun bagi perempuan secerdas itu untuk menyadari bahwa pria yang dicintainya tidak akan berubah seperti yang dia harapkan.
Oh, dear, kamu tidak akan bisa mengubah seseorang menjadi seperti yang kamu inginkan, tidak! Tidak akan pernah!
Tapi kelemahan logika novel tersebut tertutupi dengan kenyataan bahwa perasaan wanita memang sulit berubah. Wanita pada dasarnya adalah makhluk yang lembut dan tulus. Mudah menerima, dan memaafkan.
Hiks! Gue kok jadi sentimental geneh! Hahahh!

Na, gue paling suka apa yang tertulis di halaman 99-100.
Dialog dan jalinan kalimat yang bagus!
Seharusnya gue baca novel ini beberapa tahun yang lalu, walau nggak jaminan apa yang ditegaskan Deni akan mengubah pandangan seorang wanita tentang cinta, seperti juga Nena tidak langsung memutuskan harapannya akan cinta Rasheed.

Ini novel yang bagus, jadi kenapa tadi gue bilang ini novel yang "berat"?
Karena kisah hidup Nena yang sedemikian rupa, selama 230 halaman alias empat tahun hidupnya, dia nggak di atas angin, tapi juga dia nggak terpuruk dalam derita mencinta, membuat pembaca seperti gue justru ikut merasakan ketabahan dia untuk tetap melanjutkan hidupnya.

Nggak seperti biasanya, gue perlu waktu 4 hari untuk menghabiskan novel bergenre Metropop ini. Penundaan itu antara lain disebabkan stagnannya jalan cerita yang anehnya justru membuat gue gemas pada sikap Nena yang aaargggh!!! (kalo gue temennya, udah gue cecarin tiap hari tentang betapa bodohnya dia!).

Salut buat Nana!
Kamu hebat, berani membuat cerita semi-real yang panjang, sekilas terlihat stagnan, namun ternyata penuh pelajaran tentang mencinta, seperti ini.
Saluttt!!!



Comments

Popular posts from this blog

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian satu)

Udah lama banget gue pengen nge-review Serial TV berjudul My Friends, My Dreams ini. Novelnya juga sih. Tapi gak sempet-sempet. Oke, mungkin tulisan ini bukan jenis review, ya seenggaknya, serupa review. :p Novel My Friends, My Dreams. Karya : Ken Terate adalah novel –para pemenang sayembara TeenLit Writer- yang pertama gue beli. Gue suka banget novel ini, karena SANGAT BERBEDA dengan novel TeenLit lainnya. Thumb up buat kejelian penulisnya. As we all know, novel bergenre remaja, tentu aja, mengetengahkan kehidupan remaja (hehe, infonya gak penting banget!). Banjirnya sinetron remaja yang sangat gak mutu seperti sekarang, membuat kehidupan remaja sekarang kayaknya cuma berkisar pada kejadian konflik dengan teman, rebutan pacar, cinta gelo, sampe remaja pelaku krimimil. Hellloooooow! Zaman gue sekolah dulu, emang sih rame ikut tawuran, atau digencet kakak kelas, tapi kayakna gak semonoton gitu deh. Masa remaja adalah masa yang paling indah, dan kehidupan sekolah itu menyenangkan. Setuj

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian dua)

Sampe suatu ketika, gue kebetulan lagi nonton Kiamat Sudah Dekat (KSD). Pas lagi iklan, ganti chanel, ternyata Serial TV itu muncul di TV7. Sejak itu, gue gak pernah absen nonton (ganti-gantian sama KSD). Gue sampe bela-belain pulang cepet buat bisa nongkrongin TV, apalagi sekarang jam tayangnya dimajuin jadi jam 20. Untung aja tayangnya hari Jumat. Pas mo wiken banget tuh! Gak nyangka, Serial TV-nya (plis deh, ini bukan “sinetron”. Oke?) malah lebih bagus dari yang waktu gue bayangin visual isi novelnya. Aktingnya alami banget. Tiap kejadian selalu bisa membuat gue ikut senyum, hanyut dalam emosi yang wajar, dan yang paling gue suka : ada nilai positifnya, dan itu sangat dominan. Two Thumbs Up!!!! Yang paling gue suka (lagi) adalah bagian di mana Mading Sekolah dikembangkan menjadi TV Sekolah! Semoga aja ini bisa jadi inspirasi buat para remaja yang senang beraktivitas dan ingin memajukan sekolahnya. Gue liat tiap episode, iklannya semakin bertambah dan bahkan jam tayangnya dimajuin

Fear Factor versi Indonesia (#1- Tantangan yang gak kacangan)

Nonton Fear Factor Versi Indonesia kemarin, ada dua hal yang ingin gua komentari, dan itu akan gua bagi dalam 2 tulisan. Yang pertama, bahwa reality show tentang memerangi rasa takut ini memang sangat menarik -kalo gak bisa dibilang keyen- Di luar kenyataan bahwa sampe sekarang persertanya masih didominasi orang-orang yang katanya-lumayan-beken-dan-tampang-kayak-maksa -musti-cakep itu (biasa deh, stereotip dunia hiburan, orang Indonesia kayak malu ama tampang asli bangsa sendiri), tantangan yang harus dihadapi peserta memang cukup berhasil "mbikin-takut-n-jijik". Sesuai temanya, yaitu faktor yang menakutkan, tantangan tersebut gak semata berupa tantangan fisik yang memerlukan otot kawat-tulang besi. Hal ini yang paling menarik, mengingat gak semua orang sekuat Gatotkaca, tapi belum tentu seorang Superman berani tidur dalam kotak kecil bareng sekumpulan tarantula berbisa. Ohya, ada dua hal yang paling gua suka dalam menghadapi tantangan : yang menguji nyali, dan mengadu kecer