Skip to main content

Zidane, a smart player

Gue jelas ngga bisa bersikap obyektif menyikapi kasus Akang Zaynedin Zidane, hehehee sok akrab kaleee.... Btw, siapa juga yang minta disikapin! *PLAKS*

Untuk banyak alasan, gue mendukung Zidane, biarpun dia sebage manusia biasa ternyata juga sempat khilaf dan bertingkah memalukan. Tapi gue nggak rela FIFA akan mencabut Golden Ball untuk dia. Kalo FIFA bersikeras, tanpa membahas apa yang sebenarnya menjadi pemicu, hanya gara-gara sekali tandukan itu dan Zidane dianggap pemain tercela, itu sama aja kayak pejabat pendidikan kita, yang ngadain UAN cuma dua jam dan langsung memvonis ribuan siswa kita tolol karena nilai bahasa Inggrisnya minus 0,1 saja dari standar.
FIFA yang tolol, karena hanya melihat SATU saja kasus yang manusiawi pula,
dan pakar kita sama aja, karena hanya mengandalkan satu cara aja untuk memvonis kualitas otak generasi penerusnya.

Ohya, lepas dari kontroversi apa kira-kira isu rasial yang dilontarkan Marco Materazzi pada Akang Zidane, gue tertarik sama satu kalimat berbalas mereka. Gue baca ini di Kompas, edisi kapan gue lupa. Judulnya, "Materazzi Akui Zidane Arogan".

Stop dulu. Gue nggak sreg dengan kata "Akui" yang dipakai editornya, selain penempatan harfiahnya ngga pas, antara Akui dengan Arogan, bukankah secara ngga langsung korannya telah bersikap memihak? Karena Judul tersebut provokatif (bagian "Akui"). Semestinya kata yang digunakan adalah : "Nyatakan".

Oke, balik ke kutipan berita yang mau gue bahas.

Di situ disebutin bahwa Materazzi tersinggung karena pandangan Zidane yang dianggapnya meremehkan dan itu membuatnya tersinggung padahal dia cuma melakukan hal kecil.
'Saya tarik kausnya, hanya sebentar, dan dia memandang saya dari atas ke bawah, lalu berkata, "Jika kamu mau kaus ini, nanti, seusai pertandingan!''

Lihat?
Zidane, itu kalimat yang cerdas banget untuk mengutarakan kekesalan kamu karena Materazzi menguntili kamu selama seratus menit pertandingan dan terus saja menarik kaus untuk menghalangi pergerakan kamu!

Daripada ngomong kasar? Mendingan nyindir seperti itu kan?

Dan kalimat itulah yang rupanya membuat Materazzi meradang. Dia menganggap Zidane "arogan", "sombong", padahal mungkin kalo dikasi beneran kaosnya sama Zidane, dia juga ngga nolak kaliii... hihihi... Cuma diliatin aja marah... Padahal itu kan Zidane lagi nahan kesal gara-gara dikuntilin terus-terusan. Dan kalimat sindiran Zidane, seharusnya dia balas dengan kalimat sindiran yang sama cerdasnya kek, seperti, "Sayang sekali Zidane, saya khawatir kaosmu akan segera diminta Cannavaro sebagai sesama kapten, sedang saya sungguh tidak rela. Jadi, lebih baik saya bikin kaosmu itu longgar dan buluk dari sekarang. Supaya nggak ada yang mau bertukar denganmu."
Ha! Kepanjangan kali ya? Tapi mendingan kan, daripada malah mengumpat?

Aneh ya, padahal gue kira orang Eropa itu cerdas. Zidane contohnya, dia makin terlihat cerdas dan hebat bagi gue, setelah tahu apa kalimat yang dia pakai untuk mengungkapkan perasaan keselnya. Tapi ternyata nggak semua orang Eropa cerdas. Materazzi contohnya. Dia malah naik darah dan balas mengatai Zidane dengan (kemungkinan) kalimat rasial yang ngga pantas, tapi ternyata cukup pantes untuk ngebuat seorang "pemain dewasa" seperti Zidane marah, dan khilaf.

Pertanyaannya sekarang,
"Siapa yang cerdas (dan culas) pada akhirnya, Zidane atau Materazzi?"
Karena provokasi Materazzi akhirnya berhasil membuat sang Maestro nyaris kehilangan nama baiknya lebih jauh lagi.

Kalo tadi gue bilang Zidane cerdas, melempar emosi dengan kalimat cerdas, ternyata dia yang menanggapi umpatan Materazzi dengan tindakan keras, itu jelas kekhilafan yang bisa menurunkan nilai kecerdasan. Kecuali Zidane benar-benar punya alasan kuat untuk itu. Kalo kata gue sih, kalo benar spekulasi bahwa Materazzi benar-benar menghina Zidane secara rasial, harusnya cowok itu ngga ditanduk, tapi digampar!
Hhh... Tapi ngga boleh juga. Untunglah Akang Zidane segera sadar dari khilafnya, dan mencopot ban kapten sebelum diberi kartu merah. Mungkin Zidane baru ingat bahwa Nabi nggak pernah mengajarkan umatnya untuk balas menyakiti orang yang menyakiti kita.

Comments

Popular posts from this blog

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian satu)

Udah lama banget gue pengen nge-review Serial TV berjudul My Friends, My Dreams ini. Novelnya juga sih. Tapi gak sempet-sempet. Oke, mungkin tulisan ini bukan jenis review, ya seenggaknya, serupa review. :p Novel My Friends, My Dreams. Karya : Ken Terate adalah novel –para pemenang sayembara TeenLit Writer- yang pertama gue beli. Gue suka banget novel ini, karena SANGAT BERBEDA dengan novel TeenLit lainnya. Thumb up buat kejelian penulisnya. As we all know, novel bergenre remaja, tentu aja, mengetengahkan kehidupan remaja (hehe, infonya gak penting banget!). Banjirnya sinetron remaja yang sangat gak mutu seperti sekarang, membuat kehidupan remaja sekarang kayaknya cuma berkisar pada kejadian konflik dengan teman, rebutan pacar, cinta gelo, sampe remaja pelaku krimimil. Hellloooooow! Zaman gue sekolah dulu, emang sih rame ikut tawuran, atau digencet kakak kelas, tapi kayakna gak semonoton gitu deh. Masa remaja adalah masa yang paling indah, dan kehidupan sekolah itu menyenangkan. Setuj

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian dua)

Sampe suatu ketika, gue kebetulan lagi nonton Kiamat Sudah Dekat (KSD). Pas lagi iklan, ganti chanel, ternyata Serial TV itu muncul di TV7. Sejak itu, gue gak pernah absen nonton (ganti-gantian sama KSD). Gue sampe bela-belain pulang cepet buat bisa nongkrongin TV, apalagi sekarang jam tayangnya dimajuin jadi jam 20. Untung aja tayangnya hari Jumat. Pas mo wiken banget tuh! Gak nyangka, Serial TV-nya (plis deh, ini bukan “sinetron”. Oke?) malah lebih bagus dari yang waktu gue bayangin visual isi novelnya. Aktingnya alami banget. Tiap kejadian selalu bisa membuat gue ikut senyum, hanyut dalam emosi yang wajar, dan yang paling gue suka : ada nilai positifnya, dan itu sangat dominan. Two Thumbs Up!!!! Yang paling gue suka (lagi) adalah bagian di mana Mading Sekolah dikembangkan menjadi TV Sekolah! Semoga aja ini bisa jadi inspirasi buat para remaja yang senang beraktivitas dan ingin memajukan sekolahnya. Gue liat tiap episode, iklannya semakin bertambah dan bahkan jam tayangnya dimajuin

Fear Factor versi Indonesia (#1- Tantangan yang gak kacangan)

Nonton Fear Factor Versi Indonesia kemarin, ada dua hal yang ingin gua komentari, dan itu akan gua bagi dalam 2 tulisan. Yang pertama, bahwa reality show tentang memerangi rasa takut ini memang sangat menarik -kalo gak bisa dibilang keyen- Di luar kenyataan bahwa sampe sekarang persertanya masih didominasi orang-orang yang katanya-lumayan-beken-dan-tampang-kayak-maksa -musti-cakep itu (biasa deh, stereotip dunia hiburan, orang Indonesia kayak malu ama tampang asli bangsa sendiri), tantangan yang harus dihadapi peserta memang cukup berhasil "mbikin-takut-n-jijik". Sesuai temanya, yaitu faktor yang menakutkan, tantangan tersebut gak semata berupa tantangan fisik yang memerlukan otot kawat-tulang besi. Hal ini yang paling menarik, mengingat gak semua orang sekuat Gatotkaca, tapi belum tentu seorang Superman berani tidur dalam kotak kecil bareng sekumpulan tarantula berbisa. Ohya, ada dua hal yang paling gua suka dalam menghadapi tantangan : yang menguji nyali, dan mengadu kecer