Skip to main content

I Love You, Mom

Ternyata, semakin lama usia seorang anak manusia, semakin berkembanglah pengetahuan yang dimilikinya. Istilah “perkembangan” itu sendiri bisa berarti berbeda bagi setiap orang. Ada yang berkembang banyak, sedikit, perlahan, pesat, atau malah jalan di tempat (kalo yang terkahir bisa dibilang “perkembangan” sih).
Banyak faktor yang mengakibatkan semua itu.

Waktu baru lahir, kamu membutuhkan siapa saja yang peduli sama kamu untuk memakaikan kamu baju hangat saat lelap dalam tidur panjang.
Waktu menjadi balita, kamu perlu pelukan orang dewasa untuk mengajak kamu belajar bicara dan jalan-jalan.
Waktu kamu sudah mahir berjalan, kamu membuat repot orang sekitarmu yang mencemaskan kalo-kalo kamu jatuh karena berlari ke sana kemari saking girangnya.
Waktu kamu benar-benar sudah pandai berlari dan bicara, dengan cueknya kamu bikin mam atau oma kamu pontang panting mengejar kamu buat nyuapin makanan, biar berat badan kamu nggak kayak sekarung kerupuk.
Waktu kamu bersekolah, kamu lagi-lagi bikin susah orangtua dengan bikin gara-gara di kelas, dan selalu minta diantar jemput.

..
.
Cukup sampe di situ dulu ceritanya tentang “kamu”. Karena aku terlampau haru buat ngelanjutin sampe dewasa, apalagi bila lebih tua.
Aku bisa menuliskan hal-hal tadi karena melihat Anca, keponakan (bukan anakku loh!) tersayang nan cantik dan lincah… betapa kami mencintaimu, sayang :)

tuuuuhhh... Anca yang botak! bukan yang cakep nyembul. Hihihii...

Melihat Anca, apalagi dia balita usia dua tahun yang lincah pula, aku jadi sering mikirin apa yang kulakukan waktu kecil dulu?
Aku yakin aku nakal sekali waktu sudah bisa bersekolah, dan makin badung (walau itu bukan mauku, kok) ketika bernjak remaja, aku selalu bisa merasakan bahwa keluargaku mencintaiku sepenuh hati, kenyataan yang justru membuatku kadang memanfaatkan kesempatan (he he).
Sekarang aku sudah dewasa.
Sudah nggak nakal lagi beberapa tahun terakhir, dan nggak (begitu) nyusahin orangtua, serta (mudah-mudahan benar) lebih bijak semakin hari.
Aku mungkin belum terlalu dewasa dalam hal usia, tapi aku cukup dewasa untuk bisa berpikir panjang, sekarang..
Aku percaya, “kedewasaan berpikir” memang perlu proses, dan setiap orang juga punya proese berbeda.

Oh, betapa aku bersyukur punya ibu yang selalu mendukungku dalam kondisi sesulit apapun, seorang mama yang selalu berusaha memahamiku, dalam wacana yang beda generasi sekalipun. Mama yang selalu membebaskanku memilih jalan hidupku sendiri, dan mencintaiku tanpa syarat.
I love you, Ma.

Comments

Popular posts from this blog

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian satu)

Udah lama banget gue pengen nge-review Serial TV berjudul My Friends, My Dreams ini. Novelnya juga sih. Tapi gak sempet-sempet. Oke, mungkin tulisan ini bukan jenis review, ya seenggaknya, serupa review. :p Novel My Friends, My Dreams. Karya : Ken Terate adalah novel –para pemenang sayembara TeenLit Writer- yang pertama gue beli. Gue suka banget novel ini, karena SANGAT BERBEDA dengan novel TeenLit lainnya. Thumb up buat kejelian penulisnya. As we all know, novel bergenre remaja, tentu aja, mengetengahkan kehidupan remaja (hehe, infonya gak penting banget!). Banjirnya sinetron remaja yang sangat gak mutu seperti sekarang, membuat kehidupan remaja sekarang kayaknya cuma berkisar pada kejadian konflik dengan teman, rebutan pacar, cinta gelo, sampe remaja pelaku krimimil. Hellloooooow! Zaman gue sekolah dulu, emang sih rame ikut tawuran, atau digencet kakak kelas, tapi kayakna gak semonoton gitu deh. Masa remaja adalah masa yang paling indah, dan kehidupan sekolah itu menyenangkan. Setuj

My Friends, My Dreams. Novel dan TV Series. (Review, bagian dua)

Sampe suatu ketika, gue kebetulan lagi nonton Kiamat Sudah Dekat (KSD). Pas lagi iklan, ganti chanel, ternyata Serial TV itu muncul di TV7. Sejak itu, gue gak pernah absen nonton (ganti-gantian sama KSD). Gue sampe bela-belain pulang cepet buat bisa nongkrongin TV, apalagi sekarang jam tayangnya dimajuin jadi jam 20. Untung aja tayangnya hari Jumat. Pas mo wiken banget tuh! Gak nyangka, Serial TV-nya (plis deh, ini bukan “sinetron”. Oke?) malah lebih bagus dari yang waktu gue bayangin visual isi novelnya. Aktingnya alami banget. Tiap kejadian selalu bisa membuat gue ikut senyum, hanyut dalam emosi yang wajar, dan yang paling gue suka : ada nilai positifnya, dan itu sangat dominan. Two Thumbs Up!!!! Yang paling gue suka (lagi) adalah bagian di mana Mading Sekolah dikembangkan menjadi TV Sekolah! Semoga aja ini bisa jadi inspirasi buat para remaja yang senang beraktivitas dan ingin memajukan sekolahnya. Gue liat tiap episode, iklannya semakin bertambah dan bahkan jam tayangnya dimajuin

Fear Factor versi Indonesia (#1- Tantangan yang gak kacangan)

Nonton Fear Factor Versi Indonesia kemarin, ada dua hal yang ingin gua komentari, dan itu akan gua bagi dalam 2 tulisan. Yang pertama, bahwa reality show tentang memerangi rasa takut ini memang sangat menarik -kalo gak bisa dibilang keyen- Di luar kenyataan bahwa sampe sekarang persertanya masih didominasi orang-orang yang katanya-lumayan-beken-dan-tampang-kayak-maksa -musti-cakep itu (biasa deh, stereotip dunia hiburan, orang Indonesia kayak malu ama tampang asli bangsa sendiri), tantangan yang harus dihadapi peserta memang cukup berhasil "mbikin-takut-n-jijik". Sesuai temanya, yaitu faktor yang menakutkan, tantangan tersebut gak semata berupa tantangan fisik yang memerlukan otot kawat-tulang besi. Hal ini yang paling menarik, mengingat gak semua orang sekuat Gatotkaca, tapi belum tentu seorang Superman berani tidur dalam kotak kecil bareng sekumpulan tarantula berbisa. Ohya, ada dua hal yang paling gua suka dalam menghadapi tantangan : yang menguji nyali, dan mengadu kecer